Surat Terbuka kepada Pak Bambang Soesatyo

Satria Sambijantoro

economics student at University of Indonesia

Surat Terbuka kepada Pak Bambang Soesatyo: "Kepada anggota DPR-RI dari partai Golkar yang terhormat, Pak Bambang Soesatyo.

Beberapa kali di media Pak Bambang berkata ‘tidak bermaksud rasis’ dan menolak untuk meminta maaf kepada Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengenai pernyataan Bapak minggu lalu. Argumen Pak Bambang lalu diperkuat dengan pernyataan rekan kolega Bapak di Golkar yang mengatakan bahwa inti permasalahan yang Bapak angkat bukanlah masalah rasis, dan kata-kata rasis itu sebenarnya tidak merepresentasikan inti utama dari statement Bapak.

Ya, saya sangat mengerti apa yang dimaksud oleh kolega Golkar Bapak tersebut: Bahwa poin utama argument Bapak bukanlah mengenai pernyataan rasis yang Bapak lontarkan, melainkan lebih pada ‘menteri-menteri yang tidak kompeten’ di pemerintahan Presiden Yudhoyono. Maka kini saya akan meninggalkan debat-debat mengenai poin rasis di kasus Bapak, dan hanya akan memfokuskan argumen kita tentang opini Bapak mengenai adanya beberapa menteri yang tidak kompeten di pemerintahan yang sekarang."


Sayangnya, suatu pernyataan yang mengatakan bahwa Mari Elka Pangestu sebagai menteri yang tidak kompeten hanya karna sebuah pesawat jatuh adalah suatu pernyataan yang tidak relevan dan tidak berdasar. Bagi saya, itu sama saja seperti Bapak mengatakan bahwa Ibu Mari ‘hanya mementingkan kepentingan nenek moyangnya [yang berketurunan Cina]’. Kedua pernyataan tidak memiliki argumentasi yang kuat, berdasarkan emosional semata, dan, yang paling penting, bukanlah sebuah pernyataan yang layak dilontarkan oleh seorang intelektual seperti anggota DPR.
Jelas, kita mengetahui bahwa di kabinet sekarang ini ada beberapa menteri yang tidak kompeten. Tapi berdasarkan apa yang saya lihat, adalah menteri-menteri yang memiliki latar belakang partai politik –termasuk beberapa menteri dari partai Pak Bambang sendiri– yang dapat dianggap tidak kompeten; bukan menteri-menteri dari latar belakang profesional seperti Ibu Mari.
Saya adalah mahasiswa di sebuah universitas negri di Indonesia, dan saya sangat beruntung untuk kesempatan mendapatkan kuliah dari beberapa menteri dan policymaker di pemerintahan. Faktanya, saya dan teman-teman saya selalu terkesima dengan nasionalisme, pengetahuan, dan kepintaran menteri-menteri yang berasal dari kalangan professional, namun sayangnya pertemuan saya dengan beberapa mentri yang berasal dari latar belakang partai politik selalu berakhir dengan kekecewaan.
Menteri-menteri yang memiliki latar belakang professional seperti Mari Elka Pangestu dan Sri Mulyani Indrawati adalah dosen saya di kelas Ekonomi Internasional dan Pengantar Ekonomi, dan beberapa minggu lalu pejabat negara setingkat menteri seperti Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan juga mengunjungi fakultas saya untuk memberikan kuliah umum. Cara Ibu Mari, Ibu Ani, dan Pak Gita mengajar perkuliahan dan menjelaskan ekonomi benar-benar baik dan saya berani bertaruh bahwa semua mahasiswa di fakultas saya akan setuju dengan saya.
Tetapi bagaimana dengan menteri-menteri dari latar belakang partai politik? Beberapa semester lalu salah satu menteri di kabinet sekarang yang memiliki latar belakang dari partai politik adalah dosen saya. Ironisnya, beliau selalu terlambat masuk ke kelas –dan saya serta teman-teman sekelas sekelas benar-benar kesal karena kami harus selalu menunggu selama satu setengah jam sampai beliau bisa datang dan memulai perkuliahan. Di dalam kelas, ketika kami mengajukan pertanyaan, jawaban beliau selalu berputar-putar dan kami tidak bisa menangkap apa inti dari jawaban beliau. Salah satu teman saya bahkan berkata bahwa dia mencurigai bahwa beliau sebenarnya tidak memiliki pengetahuan untuk menjawab pertanyaan itu sama sekali, makanya beliau berputar-putar dalam menjawabnya.
Diluar kegiatan perkuliahan universitas, saya pernah menghadiri sebuah seminar yang dibawakan dalam bahasa Inggris dan mengundang salah satu menteri di kabinet sekarang yang berasal dari Golkar –ya, dari partai Pak Bambang sendiri– sebagai pembicaranya. Seminar itu terkesan menjadi sebuah pertunjukkan untuk mempermalukan sang menteri tersebut, karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris buruk sekali dan pada saat itu saya berkata dalam hati, “Apa jadinya kalau menteri seperti ini mewakili Indonesia di pentas internasional?”
Dan lebih parahnya, rekan Golkar Bapak tersebut datang terlambat dan acaranya harus berlangsung selama kira-kira 1 jam tanpa kehadiran beliau.
Fakta menunjukkan bahwa beberapa kementrian tertentu seperti Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, Menteri Luar Negri, atau yang terbaru ini Kepala BKPM biasanya diberikan kepada orang-orang yang berasal dari latar belakang profesional dan bukan partai politik –dan di beberapa periode presiden yang lalu pun demikian. Mengapa?
Tebakan saya adalah: Mungkin menteri dengan latar belakang parpol kurang kompeten, sehingga Presiden Yudhoyono kurang mempercayai mereka? Kita semua tahu bahwa kementrian-kementrian tersebut dianggap sangat vital, dan menunjuk orang sembarangan sebagai menteri di pos tersebut tentunya akan sangat beresiko. Terlebih lagi, orang yang menjadi menteri di kementrian-kementrian tersebut akan banyak berinteraksi dengan pihak luar negri dibandingkan dengan kementrian yang lainnya, sehingga menggambarkan image Indonesia dimata internasional.
Lagipula, nama-nama menteri yang beredar di media sebagai menteri yang disinyalir menerima rapor merah dari Unit Kerja bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) karena kementriannya tidak mencapai target semuanya berasal dari latar belakang partai politik. Berdasarkan fakta ini serta pengalaman saya dengan menteri yang berasal dari partai politik, tentunya saya tidak akan memilih menteri dari latar belakang partai politik untuk menjabati posisi vital seperti Menteri Keuangan atau Menteri Perdagangan jika saya menjadi Presiden.
Jadi, jika tuduhan Bapak mengenai ‘menteri yang tidak kompeten di kabinet’ ditujukan kepada dosen saya Ibu Mari, itu sama saja Pak Bambang menembakkan peluru ke target yang salah. Mungkin pernyataan tersebut akan menjadi lebih relevan jika pernyataan tersebut Bapak tujukan kepada rekan-rekan Bapak di kabinet sekarang yang berasal dari partai politik.
Ini bukan berarti saya menganggap semua menteri yang berasal dari partai politik itu buruk lho Pak Bambang. Kita semua mengerti, bagaimanapun juga partai politik adalah salah satu pilar penting dari demokrasi dan jalan utama bagi masyarakat untuk berpartisipasi di pemerintahan.
Tapi tampaknya sekarang ini kebanyakan masyarakat Indonesia sudah sangat lelah dan bersikap skeptis terhadap dunia perpolitikan di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena cara Pak Bambang dan teman-teman politik Bapak di DPR sana berperilaku sangat mengecewakan kami, masyarakat Indonesia, yang sebenarnya membayar gaji dan berbagai tunjangan Bapak per bulan yang jumlahnya mencapai puluhan, atau bahkan ratusan juta rupiah.
Tetapi saya memiliki saran untuk Bapak dan teman-teman sesama politikus Pak Bambang di DPR untuk memulihkan image Bapak yang mungkin sudah hancur di kalangan masyarakat Indonesia: Bagaimana jika Pak Bambang membuat undang-undang yang mengharuskan 75% dari seluruh menteri di kabinet untuk berasal dari kalangan professional, yang tidak memiliki asosiasi sama sekali dengan partai politik?
Saya setuju dengan pernyataan Pak Bambang kalau ada beberapa menteri yang tidak kompeten di pemerintahan, tetapi tentunya saya bukan orang yang asal bunyi dan hanya bisa mengritik, jadi sekarang saya menawarkan solusi ini kepada Bapak. Saya sangat yakin bahwa Indonesia memiliki banyak intelektual dan profesional yang kompeten untuk itu, dalam beberapa tahun kedepan saya bisa melihat bahwa Indonesia akan jauh lebih maju dari sekarang dengan orang-orang seperti mereka menjadi menteri di pemerintahan.

No comments:

Post a Comment