Kacung-Kacung yang Ingin Menjadi Sultan Gadungan: "Inilah phenomena yang terjadi di Indonesia setelah 40 tahun mengamati, tentunya ada beberapa tokoh yang tersingkir dimana mereka benar-benar perduli untuk kemajuan mereka. Merekalah yang menjadi saksi hidup dari kenyataan yang ada ini.
Dengan menggunakan cara parlementer dan partai2 mengingatkan saya ketika saya memasuki masa dewasa saya di tahun 50an. Dimana Para Nativis Kepercayaan ini menggembar gemborkan perlunya Pancasila digantikan menjadi RISI seperti keinginan penjajah Belanda. Karena itu kehebatan penjajah Belanda yaitu memecah belah negara yg baru saja lahir Republik Indonesia."
Untungnya banyak dari pejuang2 negara Indonesia bersatu, menghancurkan kaum pejuang RI yang memiliki paham nativis kepercayaan. Oleh sebab itu Aceh dan Yogjakarta dijadikan daerah khusus untuk menghormati jasa2 mereka dalam perjuangan kemerdekaan dan ingin terus mempertahankan kesatuan mereka dengan Republik Indonesia.
Tentunya paham yang lain seperti Komunis yang juga pejuang kemerdekaan ingin mendapat penghargaan, oleh sebab itu pemerintah saat itu dipimpin Soekarno, memberikan banyak kesempatan mereka membantu perjuang dan pembangunan Indonesia.
Tetapi seperti paham Komunis juga ingin mengubah dasar negara dengan paham yang mereka percayai. Oleh sebab itu akhirnya mereka dihancurkan.
Sedangkan Paham Kepercayaan mayoritas dilebur dibagi 2 menjadi wadah sosial dan kebudayaan yang menempatkan kepercayaan tidak lagi menjadikan dirinya untuk menjadi pelaku politik serta menggangu kestabilan Republik Indonesia. Kedua dilajutkan sebagai 1 partai politik yang lebih di kenalPPP.
Sedangkan dari kaum sosialis dan kepercayaan minoritas dan tidak terlibat dari gerakan penghancuran Republik Indonesia, dikembalikan lagi menjadi wadah sosial dan kebudayaan yang menempatkan kepercayaan tidak lagi menjadikan dirinya untuk terjun dalam kancah politik. Kedua dilanjutkan sebagai 1 partai politik yang lebih dikenal PDI.
Sejak pemerintahan Orde Baru, maka semua partai dilebur menjadi 3 dengan 1 Karya ABRI. Kenapa ABRI saat itu harus masuk dalam pemerintahan, karena jasa2 mereka mempertahankan Pancasila dan keutuhan Republik Indonesia. Oleh sebab itu maka ABRI terjun dalam politik. Inilah yang membuat kesalahan fatal seperti dengan paham politik nativis kepercayaan dan komunis yang terjun dalam politik.
Sejak than 70an, kepercayaan di tempatkan di tempat yang tinggi. Tidak lagi ikut terjun lagi dalam berpolitik justru menjadi Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Ulama dan Pemuka2 Kepercayaan.Berdiri diatas partisan politik manapun.
Dalam berpolitik ABRI merasa dirinya paling berjasa dalam mengamankan gejolak yang terjadi menjadikan diri mereka besar kepala. Padahal Pemerintahan Indonesia seharusnya dijalankan secara sipil tetapi mereka terus saja mengeraskan hati untuk terus memimpin tatanan kehidupan pemerintahan di Indonesia. Sehingga terjadilah pergolakan2 didalam tubuh pemerintahan, sulitnya ibarat tanah liat mencoba dicampur dengan besi.
Pemerintah Indonesia berusaha sekuat2nya mempertahankan koalisi ini. Alhasil para sipil yang dengan teguh dan jujur satu persatu di singkirkan, tanpa sadar mereka digunakan oleh kaum Nativis Kepercayaan yang melihat kesempatan untuk menurunkan kepercayaan ke jalan yang kotor.
Kombinasi dan koalisi dari kaum Nativis Kepercayaan yang menggunakan propaganda ini dimulai sejak awal 1980an, dimana bermuculan yang disebut HIPMI, menggunakan istilah2 “I” yaitu kepercayaan mayoritas.
Beberapa ulama terkenal dan sangat dihormati mulanya sangat setuju, tetapi mereka melihat bahaya lainya, mereka tidak ingin kepercayaan mayoritas menjadi bulan2an atau alat tameng untuk nafsu dan ambisi beberapa pihak dari kaum Nativis Kepercayaan.
Kenapa berbahaya? Karena sejarah menunjukan di negara2 seperti di Amerika Latin yang begitu terpuruknya dengan kehidupan yang dijalankan merendahkan kepercayaan menjadi alat politik bagi segelintir pihak yang memiliki ambisi yang jelas2 memperkaya pihak mereka sendiri.
Beberapa pemuka kepercayaan yang sudah matang dan berpikiran luas, memberikan ceramah di salah satu sekolah yang moderat dan terhormat tetapi bukan milik kesultanan, adalah AL Azhar. Dimana para cendikiawan dan ahli2 dalam sosial politik mencoba mengkaji bagaimana sebagusnya kepercayaan itu ditempatkan dalam masyarakat di seluruh dunia, baik mayoritas, maupun minoriitas.
Bukan untuk promosi Al Azhar, tetapi di dunia Al Azhar adalah sekolah yang di akui dan terhormat salah satu sekolah cendikiawan tertua di dunia yang masih berdiri dengan megah.
Melihat keberhasilan Kelanggengan Kesulatanan Yogjakarta, demokrasi ala Indonesia, Afganistan, South Africa, Iran, Liberia, Kongo, Kenya, Libya, dan negara2 Latin di Amerika Tengah maupun di Amerika Selatan.
Setelah Reformasi terjadi, justru pengikut paham nativis kepercayaan berusaha kembali sekuat2nya untuk membawa Republik Indonesia ke jaman tahun 50an.
Ini terlihat dari cara2 mereka yang ada 2.
1. Melalui teror. Membangkitkan Histeria bahwa Kepercayaan yang dalam bahaya, harus diperjuangkan dengan darah, perang, makar, bakar, bunuh. Muncul nya pasukan karbitan Mujahidin dari Malaysia dan Filipina.
2. Melalui partai politik dan parlementaria. Membuat RUU yang menggantikan dasar HUKUM NKRIdengan hukum kepercayaan yang mereka inginkan.
Mengapa ini membuat mereka melakukan kesalahan yang fatal?
Alasannya sangat sederhana saja, faktanya
1. Kepercayaan mayoritas tidak ada yang ganggu gugat.
2. Kepercayaan mayoritas sudah memiliki mayoritas itu sendiri.
3. Kepercayaan seharusnya tidak terjun ke politik. Karena Politik itu buatan manusia.
4. Kepercayaan itu adalah hubungan langsung antara individu insan manusia dengan penciptanya.
5. Kepercayaan tidak dapat digunakan untuk memuaskan nafsu dan ambisi beberapa gelintir politisi yang hanya memikirkan diri dan kelompok mereka.
6. Kepercayaan adalah sesuatu yang Ilahi, tidak harus di gunakan sebagai tameng semata.
7. Fakta manusia itu adalah tidak sempurna. Jadi jika para politisi berbuat salah, kepercayaan tidak dapat disalahkan. Karena kepercayaan adalah milik individu insan itu sendiri
8. Dengan memasukan kepercayaan berpolitik, tentunya kepercayaan akan di kritik habis, apalagi para poltikus yang ada sekarang ini tidak dapat menerapkan apa yang mereka percayai dalam bentuk nyata.
9. Jika terjadi pertentangan atau kesalahan dari para politikus, biasanya menurut sejarahnya, mereka akan berlindung dalam tameng kepercayaan. Oleh sebab itu kita lihat saja mereka yang berkorupsi selalu meminta di doakan. Didoakan? Apa artinya?
Kita akan terus melihat bagaimana para anggota kaum nativis kepercayaan dan partai yang berbasis dengan kepercayaan akan terus menunjukan diri mereka bahwa mereka berusaha berlindung dalam kepercayaan yang mereka gunakan untuk kepentingan ambisi politik power individu maupun kelompok.
Sebagai penganut kepercayaan yang mayoritas sungguh sedih melihat mereka yang memiliki ambisi2 seperti ini menggunakan kepercayaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok mereka.
Pembenturan ini akan terus terjadi bahkan akan memuncak, sedangkan kita sudah berada di abad ke 21.
Apakah kita ingin kembali ke abad Kesulatanan? Mereka yang memasuki DPR dengan partai2 membawa paham nativis kepercayaan ingin mendirikan Kesultanan Baru, apa mereka berpikir mereka akan berhasil?
Kacung2 di DPR ini bermimpi menjadi Sultan, yang terjadi justru Sultan Gadungan, denganKesultanan yang Mayanya.
Bagaimana pendapat anda?
Tulisan ini mengekspresikan pendapat pribadi dari saya sendiri dan tidak ada hubungan dengan Kompasiana dan Gramedia group serta badan2 yang lain di dunia. Tulisan ini ditanggung jawabkan kepada penulis dan badan hukum tukang becak. Untuk komen dan kritik silahkan email atau call penulis di profile yang disediakan Kompasiana.
Jack Soetopo
Tentunya paham yang lain seperti Komunis yang juga pejuang kemerdekaan ingin mendapat penghargaan, oleh sebab itu pemerintah saat itu dipimpin Soekarno, memberikan banyak kesempatan mereka membantu perjuang dan pembangunan Indonesia.
Tetapi seperti paham Komunis juga ingin mengubah dasar negara dengan paham yang mereka percayai. Oleh sebab itu akhirnya mereka dihancurkan.
Sedangkan Paham Kepercayaan mayoritas dilebur dibagi 2 menjadi wadah sosial dan kebudayaan yang menempatkan kepercayaan tidak lagi menjadikan dirinya untuk menjadi pelaku politik serta menggangu kestabilan Republik Indonesia. Kedua dilajutkan sebagai 1 partai politik yang lebih di kenalPPP.
Sedangkan dari kaum sosialis dan kepercayaan minoritas dan tidak terlibat dari gerakan penghancuran Republik Indonesia, dikembalikan lagi menjadi wadah sosial dan kebudayaan yang menempatkan kepercayaan tidak lagi menjadikan dirinya untuk terjun dalam kancah politik. Kedua dilanjutkan sebagai 1 partai politik yang lebih dikenal PDI.
Sejak pemerintahan Orde Baru, maka semua partai dilebur menjadi 3 dengan 1 Karya ABRI. Kenapa ABRI saat itu harus masuk dalam pemerintahan, karena jasa2 mereka mempertahankan Pancasila dan keutuhan Republik Indonesia. Oleh sebab itu maka ABRI terjun dalam politik. Inilah yang membuat kesalahan fatal seperti dengan paham politik nativis kepercayaan dan komunis yang terjun dalam politik.
Sejak than 70an, kepercayaan di tempatkan di tempat yang tinggi. Tidak lagi ikut terjun lagi dalam berpolitik justru menjadi Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Ulama dan Pemuka2 Kepercayaan.Berdiri diatas partisan politik manapun.
Dalam berpolitik ABRI merasa dirinya paling berjasa dalam mengamankan gejolak yang terjadi menjadikan diri mereka besar kepala. Padahal Pemerintahan Indonesia seharusnya dijalankan secara sipil tetapi mereka terus saja mengeraskan hati untuk terus memimpin tatanan kehidupan pemerintahan di Indonesia. Sehingga terjadilah pergolakan2 didalam tubuh pemerintahan, sulitnya ibarat tanah liat mencoba dicampur dengan besi.
Pemerintah Indonesia berusaha sekuat2nya mempertahankan koalisi ini. Alhasil para sipil yang dengan teguh dan jujur satu persatu di singkirkan, tanpa sadar mereka digunakan oleh kaum Nativis Kepercayaan yang melihat kesempatan untuk menurunkan kepercayaan ke jalan yang kotor.
Kombinasi dan koalisi dari kaum Nativis Kepercayaan yang menggunakan propaganda ini dimulai sejak awal 1980an, dimana bermuculan yang disebut HIPMI, menggunakan istilah2 “I” yaitu kepercayaan mayoritas.
Beberapa ulama terkenal dan sangat dihormati mulanya sangat setuju, tetapi mereka melihat bahaya lainya, mereka tidak ingin kepercayaan mayoritas menjadi bulan2an atau alat tameng untuk nafsu dan ambisi beberapa pihak dari kaum Nativis Kepercayaan.
Kenapa berbahaya? Karena sejarah menunjukan di negara2 seperti di Amerika Latin yang begitu terpuruknya dengan kehidupan yang dijalankan merendahkan kepercayaan menjadi alat politik bagi segelintir pihak yang memiliki ambisi yang jelas2 memperkaya pihak mereka sendiri.
Beberapa pemuka kepercayaan yang sudah matang dan berpikiran luas, memberikan ceramah di salah satu sekolah yang moderat dan terhormat tetapi bukan milik kesultanan, adalah AL Azhar. Dimana para cendikiawan dan ahli2 dalam sosial politik mencoba mengkaji bagaimana sebagusnya kepercayaan itu ditempatkan dalam masyarakat di seluruh dunia, baik mayoritas, maupun minoriitas.
Bukan untuk promosi Al Azhar, tetapi di dunia Al Azhar adalah sekolah yang di akui dan terhormat salah satu sekolah cendikiawan tertua di dunia yang masih berdiri dengan megah.
Melihat keberhasilan Kelanggengan Kesulatanan Yogjakarta, demokrasi ala Indonesia, Afganistan, South Africa, Iran, Liberia, Kongo, Kenya, Libya, dan negara2 Latin di Amerika Tengah maupun di Amerika Selatan.
Setelah Reformasi terjadi, justru pengikut paham nativis kepercayaan berusaha kembali sekuat2nya untuk membawa Republik Indonesia ke jaman tahun 50an.
Ini terlihat dari cara2 mereka yang ada 2.
1. Melalui teror. Membangkitkan Histeria bahwa Kepercayaan yang dalam bahaya, harus diperjuangkan dengan darah, perang, makar, bakar, bunuh. Muncul nya pasukan karbitan Mujahidin dari Malaysia dan Filipina.
2. Melalui partai politik dan parlementaria. Membuat RUU yang menggantikan dasar HUKUM NKRIdengan hukum kepercayaan yang mereka inginkan.
Mengapa ini membuat mereka melakukan kesalahan yang fatal?
Alasannya sangat sederhana saja, faktanya
1. Kepercayaan mayoritas tidak ada yang ganggu gugat.
2. Kepercayaan mayoritas sudah memiliki mayoritas itu sendiri.
3. Kepercayaan seharusnya tidak terjun ke politik. Karena Politik itu buatan manusia.
4. Kepercayaan itu adalah hubungan langsung antara individu insan manusia dengan penciptanya.
5. Kepercayaan tidak dapat digunakan untuk memuaskan nafsu dan ambisi beberapa gelintir politisi yang hanya memikirkan diri dan kelompok mereka.
6. Kepercayaan adalah sesuatu yang Ilahi, tidak harus di gunakan sebagai tameng semata.
7. Fakta manusia itu adalah tidak sempurna. Jadi jika para politisi berbuat salah, kepercayaan tidak dapat disalahkan. Karena kepercayaan adalah milik individu insan itu sendiri
8. Dengan memasukan kepercayaan berpolitik, tentunya kepercayaan akan di kritik habis, apalagi para poltikus yang ada sekarang ini tidak dapat menerapkan apa yang mereka percayai dalam bentuk nyata.
9. Jika terjadi pertentangan atau kesalahan dari para politikus, biasanya menurut sejarahnya, mereka akan berlindung dalam tameng kepercayaan. Oleh sebab itu kita lihat saja mereka yang berkorupsi selalu meminta di doakan. Didoakan? Apa artinya?
Kita akan terus melihat bagaimana para anggota kaum nativis kepercayaan dan partai yang berbasis dengan kepercayaan akan terus menunjukan diri mereka bahwa mereka berusaha berlindung dalam kepercayaan yang mereka gunakan untuk kepentingan ambisi politik power individu maupun kelompok.
Sebagai penganut kepercayaan yang mayoritas sungguh sedih melihat mereka yang memiliki ambisi2 seperti ini menggunakan kepercayaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok mereka.
Pembenturan ini akan terus terjadi bahkan akan memuncak, sedangkan kita sudah berada di abad ke 21.
Apakah kita ingin kembali ke abad Kesulatanan? Mereka yang memasuki DPR dengan partai2 membawa paham nativis kepercayaan ingin mendirikan Kesultanan Baru, apa mereka berpikir mereka akan berhasil?
Kacung2 di DPR ini bermimpi menjadi Sultan, yang terjadi justru Sultan Gadungan, denganKesultanan yang Mayanya.
Bagaimana pendapat anda?
Tulisan ini mengekspresikan pendapat pribadi dari saya sendiri dan tidak ada hubungan dengan Kompasiana dan Gramedia group serta badan2 yang lain di dunia. Tulisan ini ditanggung jawabkan kepada penulis dan badan hukum tukang becak. Untuk komen dan kritik silahkan email atau call penulis di profile yang disediakan Kompasiana.
Jack Soetopo
No comments:
Post a Comment