Hilda @hammer City
"Refleksi pribadi untuk 13 Mei, 13 tahun silam, yang serasa baru kemarin dijalani. Saya masih mengingat jelas bagaimana pada saat itu, saya baru setahun bekerja di Jakarta, di kantor kami di salah satu gedung di bilangan Jalan Thamrin Jakarta, kami dengan tegang mengikuti perkembangan kerusuhan di ibukota terutama daerah Glodok sejak jam 10 pagi.Setiap jam kami memantau perkembangan yang terjadi di daerah itu melalui tv swasta, kalau tidak salah pada saat itu adalah RCTI dan SCTV yang dengan intens menyiarkan keadaan di beberapa wilayah Jakarta sejak dari demo mahasiswa dan masyarakat yang dimulai di Trisakti dan kemudian mulai terjadi pembakaran-pembakaran kecil-kecilan di beberapa sudut Jakarta. Pada jam 12 siang, kami melihat kepulan asap dari arah Glodok Jakarta Utara dari gedung kami, buru-buru kembali melihat TV dan kemudian kami melihat bahwa Glodok sudah terbakar.
Saya ingat, keadaan saat itu mencekam sekali, direktur kami yang pada saat itu sebenarnya ingin ke kantor dan menjemput kami tapi dilarang oleh teman-teman karena mengingat keselamatan beliau sehingga akhirnya kami diminta pulang pada saat itu juga, tidak boleh ada yang tertinggal di kantor, mengingat keadaan Jakarta diberitahukan sudah tidak kondusif di beberapa titik."
Tantangan Pertama: Mencari taksi/angkot untuk bisa sampai ke rumah
Pada saat itu, saya bersama teman akhirnya keluar dari gedung, tidak ada taksi yang bisa distop! Karena semua kendaraan umum menghilang dari jalan. Jalanan sepi, hanya satu-dua yang lewat, itupun kendaraan pribadi.
Taksi yang biasanya berseliweran semuanya raib entah kemana. Kami berdua bingung, mau pulang dengan apa, sementara teman saya rumahnya di daerah Bintaro dan saya di daerah Pasar Minggu. Kami akhirnya menyeberang jalan Thamrin yang hari-hari biasa boro-boro bisa nyebrang disitu.
Kita menunggu sekitar satu jam dengan was-was berdoa karena melihat kepulan asap semakin hitam di arah Glodok dan isu-isu yang beredar dari orang-orang di sekitar kami yang mengabarkan gawatnya keadaan Jakarta dengan demo dan kerusuhan-kerusuhan hebat. Apalagi kami mendengar bahwa toko-toko dan orang-orang Cina menjadi incaran jarahan. Semakin kecut hati kami, teman saya yang orang Palembang itu, perempuan yang parasnya putih..mirip orang Cina, saya yang berasal dari Manado, apalagi…
Kemudian, tiba dua metromini di halte bis dimana kami menunggu bersama karyawan-karyawan yang senasib tidak bisa mendapatkan transportasi untuk pulang. Pada saat itu kira-kira jam 1 siang, panas terik bersimbah peluh membuat udara terasa lebih pengap.
Lucunya metro mini ini sudah putar-putar ke beberapa tempat, saya acungkan jempol ke sopir yang berani ini, dia mau menolong kami ke arah yang sebenarnya bukan wilayah dia, tapi yang dia katakan, sudah tidak ada lagi jalur-jalur metromini sekarang, semua suka-suka karena Jakarta sudah kacau, demikian yang dia sampaikan.
Akhirnya dia mau mengantarkan kami ke wilayah Pancoran, hanya bisa sampai disitu pak Sopir bilang, soalnya, di mana-mana sudah ada barikade penduduk dengan membakar ban bekas, jadi mobil tidak bisa lewat. Yang artinya, kami harus jalan kaki sampai rumah masing-masing.
Jam 2 siang, metro mini kita sampai di Pancoran, kami turun, dan saya bersyukur sekali karena kami para karyawan dari berbagai perusahaan, anak-anak sekolah (SMA) yang tidak mendapatkan angkot atau metromini/bis untuk pulang sehingga kita seperti menjadi rombongan yang besar untuk berjalan pulang ke rumah masing-masing. Ada yang di Lenteng Agung, Depok, malah ada yang dari Bekasi….saya kasihan sekali dengan mereka, tapi harus bagaimana lagi, mau tidak mau kita harus jalan terus…
Tantangan Kedua: Berjalan pulang sampai di rumah (kanan-kiri pembakaran rumah dan toko-toko Cina)
Paling mengerikan yang saya ingat pada saat itu adalah perjalanan kami dari Pancoran sampai ke Pasar Minggu, kami harus melewati jalan-jalan yang penuh dengan ban-ban yang di bakar, dan…kiri kanan rumah-rumah yang biasanya saya lewati yang merupakan ruko-ruko yang menjual berbagai barang, sudah dibakar.
Saya merasa berada di zona perang, seperti Bosnia dan Hergezovina yang biasa kita lihat di TV saat itu.Saat itu udara sangat panas, kebakaran dimana-mana dan kami harus berjalan di tengah-tengah jalan yang juga banyak ban bekas yang dibakar. Untung rame-rame kita jalan kalau tidak saya tidak tahu akan seperti apa nasib kami.
Di pertengahan jalan, saya bertemu dengan seorang anak perempuan SMA, saya akhirnya menjadi teman seperjalanan adik ini, yang kelihatannya juga sudah lelah sekali. Karena kami begitu haus, saya memberanikan diri untuk mengajaknya mencari minum di rumah penduduk, kalau ada warung kita harus beli aqua untuk minum.
Meskipun takut-takut (karena dia juga punya kulit agak terang) akhirnya dia mau mengikuti saya. Ternyata penduduk yang tinggal di gang-gang lebih ramah, mereka menanyakan kami dari mana, dan juga bilang kalau yang membakar rumah-rumah dan toko-toko di depan itu bukan warga sini, mereka bilang mereka kenal para pemilik toko-toko ini dan tidak mungkin mereka mau membakarnya. Sementara mereka juga cerita kalau yang punya toko sudah kabur ke tempat lain atau ke luar negeri.
Kami akhirnya mendapatkan air untuk diminum dan kembali berjalan pulang beramai-rami dengan rombongan yang lain. Di salah satu kesempatan saya sempat melihat beberapa orang yang beringas sedang membongkar dan kemudian menyiramkan minyak tanah di salah satu toko yang akan di bakar, disaksikan oleh penduduk setempat.
Saya masih sempat mendengar seorang penduduk bilang: ”mas, jangan dibakar tokonya mas, dia Cina baik loh”…tapi omongan si Bapak tidak di gubris, mereka tetap saja melanjutkan pembakaran itu, dan saya hanya bisa merinding dan kembali berjalan…
Sampailah kami ke Goro, sebuah pasar swalayan besar pada saat itu, dan apa yang saya lihat benar-benar diluar kemampuan saya berpikir…karena saya melihat masyarakat sedang menjarah barang-barang di Goro, tidak tahu siapa yang memulai tapi semua bergerak bersama-sama menjarah apa saja yang mereka bisa angkut…
Saya melihat anak-anak tertawa-tawa membawa sepeda baru, seorang ibu-ibu menyeret-nyeret 20 kilo ember berisi cat, dan seorang nenek-nenek mampu mengangkat kasur baru….Saya waktu itu tentu saja tidak bisa melarang, hanya bisa terperangah, dan berkata lirih dalam hati…inikah bangsaku? Yang karena lapar, haus dan dahaga, menjadi manusia-manusia penjarah….dengan bangga dan tertawa-tawa….
Sedang kami melewati pasar swalayan itu, tiba-tiba dari belakang gedung Goro terdengar ledakan hebat, dan akibat ledakan itu, semua orang berhamburan keluar, dari jalan-jalan juga akhirnya lari…ke arah kami.
Kamipun panik dan ketakutan karena melihat serbuan orang yang kami pikir ingin menyerbu kami. Akhirnya kamipun lari pontang-panting ketakutan karena melihat banyak orang itu.
Lalu kami melihat ada apotik yang sedikit terbuka pagarnya, kami merengsek maju dan minta dibukakan pagar supaya bisa masuk karena kami tidak tahu lagi harus lari kemana, tadinya orang-orang di dalam itu tidak mau buka karena dikira kami kelompok penjarah, tapi melihat kami meringsek maju dengan memaksa, apalagi melihat banyak perempuan di dalam rombongan ini, dia pun membuka pagarnya pelan-pelan.
Orang-orang dari belakang sudah diserbu banyak orang sehingga kami mulai terdorong dan ada yang terinjak-injak di belakang saya. Saya sampai harus mengulurkan tangan mengangkat teman saya si anak SMA karena dia sudah jatuh dan hampir terinjak bapak-bapak di belakangnya. Semua sudah ketakutan, karena berpikir ada bom dan mulai ada tembakan-tembakan.
Tidak tahunya, ledakan yang kita dengar tadi dan membuat panik semua orang adalah ledakan tabung-tabung gas yang ada di gedung Goro, karena Goro setelah di jarah kemudian di bakar, mereka tidak tahu ada tabung-tabung gas di dalamnya, akhirnya terjadi ledakan besar tersebut.
Teman saya dan beberapa orang dalam rombongan kami akhirnya luka-luka karena insiden tadi dan mereka di obati di apotik tersebut. Disitu pula adik SMA saya (sudah lupa namanya siapa) menelpon rumahnya untuk minta di jemput. Tapi keluarganya bilang mereka tidak bisa menjemput di daerah dimana kami berada karena jalan kemari rupanya sudah ditutup. Jadi mereka akan menjemput di stasiun Pasar Minggu.
Kami pun melanjutkan perjalanan dengan keteguhan hati karena merasa stasiun Pasar Minggu sudah dekat. Lalu kamipun sampai ke stasiun kereta api Pasar Minggu. Disini, saya melihat lagi satu kejadian aneh dan mengerikan, pada saat itu, sampailah satu kereta api dari arah Depok, kereta api tersebut begitu penuh sampai ke atap-atap, tapi yang saya lihat, penumpangnya agak aneh, semua beringas, semua pada saat itu turun, lalu merengsek turun berlari…membawa-bawa parang, pisau dan benda-benda tajam lainnya.
Saya dan beberapa teman melihat hal itu langsung berlindung di salah satu rumah penduduk yang tidak dibakar, dan melihat apa yang terjadi. Ternyata mereka menyerbu Robinson Dept. Store yang ada di depan stasiun kereta api dan toko-toko di dekat-dekat Robinson itu. Seperti yang sudah kami duga, mereka kemudian menjarah, menghancurkan dan kemudian membakar toko-toko termasuk Department Store itu.
Saya akhirnya yakin, bahwa pada saat itu pembakaran-pembakaran yang terjadi di daerah-daerah tertentu di Jakarta memang di sengaja. Karena pengalaman-pengalaman yang saya alami itu.
Tampang-tampang mereka menakutkan, belum lagi bawaan mereka. Sepertinya mereka ada yang mengkomandoi. Karena dari cara kerja mereka yang begitu disiplin, cepat dan sigap memperlihatkan jika mereka sudah mengetahui apa yang perlu dikerjakan dan setelah selesai dengan cepat pergi dari tempat kejadian.
Ada beberapa orang yang sempat memperhatikan saya dan teman saya ini, namun karena mereka melihat kami bergerombol bersama penduduk lokal di rumah mereka, jadi mereka berpikir kita orang pribumi (padahal iya).
Sepanjang perjalanan itu, saya juga melihat rumah-rumah dan toko-toko banyak yang dituliskan: rumah pribumi asli, orang pribumi, rumah milik orang betawi, ada pula yang menuliskan huruf-huruf Arab, dan bisa dilihat toko-toko tersebut ternyata memang tidak dibakar ataupun di jarah.
Syukurlah, sekitar jam 6 sore kami akhirnya sampai di daerah Pasar Minggu, saya dan teman saya dijemput dan kami bisa kembali dengan selamat ke rumah kami masing-masing. Tapi ternyata masih harus ada tantangan yang saya harus lewati.
Tantangan ketiga: Adik kami yang ikut demo dengan Forkot UKI belum pulang
Adik saya, kuliah di UKI-Cawang, pada saat itu sepertinya seluruh mahasiswa kalau tidak demo bukan mahasiswa. Jadi semua dikerahkan untuk demo termasuk adik saya. Dia memang pamit sama mama untuk ke kampus hari itu dan bilang siangnya akan demo. Kami sudah mulai khawatir karena sudah jam 9 malam dia belum pulang. Apalagi melihat berita di TV dan mendengar siaran-siaran di radio jika sudah mulai ada penembakan-penembakan ke arah mahasiswa dan Jakarta semakin kisruh pada saat itu.
Jam 11 malam, dia belum pulang juga, kami semakin khawatir, menunggu telponnya tidak pernah berdering, kami menghubungi beberapa temannya, merekapun tidak bisa dihubungi. Kamipun memantau siaran radio kampus. Mereka mulai menyebutkan beberapa mahasiswa luka-luka.
Saya dan keluarga hanya bisa berdoa untuk adik saya itu, sampai pagi tiba. Telpon tiba-tiba berdering jam 7 pagi. Mama saya diminta datang ke rumah sakit universitas untuk menjemput adik saya. Tapi tidak disampaikan bagaimana keadaannya. Hanya dibilang datang saja.
Akhirnya kami bersyukur, dia teryata masih hidup. Meskipun badannya penuh biru-biru dan benjol-benjol karena dipukul aparat dengan popor senjata.
Pengalamannya lebih mengerikan lagi, karena bis yang mereka tumpangi dihentikan oleh tentara dan kemudian mereka di teror di dalam bis, dengan teriakan-teriakan dan tembakan-tembakan yang membuat mereka ketakutan. Setelah itu mereka disuruh turun lalu dipukuli…dan kemudian di Jalan tol Tomang itu, mereka disuruh lompat ke bawah…sekitar 5 meter kalau tidak lompat ditembak.
Betapa ketakutannya mereka, sehingga saking takutnya mereka pun meloncat, untung tidak ada yang patah tulang berat. Lalu mereka lari ke kampung terdekat dan ditolong oleh penduduk setempat. Akhirnya mereka dibawa ke kampus kembali.
Adik saya sangat trauma dengan kejadian itu sehingga dia sampai saat ini sangat membenci tentara dan polisi. Tetangga kami ada yang polisi, waktu itu istrinya melihat dia sudah pulang lalu datang mengunjungi, dan dia teriak-teriak memaki-maki istrinya itu dengan bilang polisi tentara jahat, penjahat, biadab…tentu saja kami kaget mendengar dia teriak-teriak dan mengusir istri polisi itu. Kami yang kemudian meminta maaf pada sang istri polisi karena keadaan ini.
Tantangan ke-empat: siapa yang harus kupercayai? Negara…atau perempuan ini?
3 minggu setelah kerusuhan besar Jakarta ini, saya sedang berada di salah satu wartel di tengah-tengah pertigaan Senen-Jakarta. Sambil menunggu giliran, di sebelah saya duduk seorang perempuan berkulit gelap, kurus dan cekung matanya, pakaiannya juga lusuh.. Dia melihat saya dan tersenyum.
Kami kemudian ngobrol dan tiba-tiba entah kenapa dia bertanya apakah saya orang Cina? Saya bilang bukan..dia bilang dulu kulitnya seperti kulit saya, malah lebih putih. Tapi…karena kerusuhan itu dia terkena alergi berat dan perlu minum banyak obat yang mengakibatkan kulitnya seperti itu.
Kemudian si perempuan ini mulai bercerita dengan berkaca-kaca tentang pengalamannya. Dia seorang karyawati yang mapan dan bekerja di sebuah perkantoran di daerah Glodok, pada saat kerusuhan dia sudah benar-benar akan pulang karena bos-nya sudah menyuruh dia pulang.
Pada saat itu tiba-tiba masuk 8 orang dengan pakaian tentara. Mereka kemudian menyekap dia dan teman-teman kantornya. Tidak ada yang boleh keluar dari tempat itu. Mereka ketakutan, dia dan teman-temannya diikat, dia sendiri di bawa ke ruangan lain.
Di ruangan lain itulah…dia diperkosa, bergiliran…dengan ancaman pisau di lehernya.
Setelah selesai mereka memperkosa dia, sebenarnya dia akan dibunuh, tapi salah seorang pemerkosa merasa kasihan padanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu dan minta dilepaskan. Kemudian entah kenapa, akhirnya mereka mau melepaskan dia.
Karena pengalaman yang sangat pahit itulah, dia akhirnya begitu tertekan, menderita dan beberapa kali ingin bunuh diri. Uangnya sudah banyak habis ke dokter, psikiater dan akhirnya dia tidak bisa lagi bekerja.
Dia merasa hidupnya begitu tragis dan tidak ada lagi yang bisa diperbuatnya. Saya hanya terperangah mendengar ceritanya. Mau bilang dia penipu tapi dia tidak minta apa-apa atau pertolongan apapun dari saya.
Untuk apa ia cerita seperti itu pada saya selain karena merasa sama-sama perempuan? Saya sudah menawarkan padanya untuk saya antar melapor ke polisi. Dia bilang apa? Polisi? Sama saja, mereka semua sama, aparat! Dia benci aparat, dan dia bilang percuma lapor polisi, sudah banyak juga temannya yang lapor tapi tidak terjadi apa-apa malah dibilang pembohong.
Saat itu, setelah mendengar ceritanya. Saya hanya bisa memeluknya, dan terdiam. Kami akhirnya berpisah, dia bilang dia percaya pada saya jadi dia hanya ingin bercerita…cerita yang begitu pedih dan menyayat hati.
Yang akan selalu kuingat setiap 13 Mei adalah…begitu banyak jatuh korban selain para mahasiswa, masyarakat sipil terutama etnis tertentu, apa yang sudah dilakukan negara selain menyangkal hal-hal yang terjadi itu? Tuhan dan para korban mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Namun begitu banyak yang menutup mata, Tim Pencari Fakta dibuat tapi fakta-fakta yang mereka kumpulkan disangkal. Saya ingat pada saat itu Romo Sandy dan beberapa kawan membuat Posko untuk korban kerusuhan ini.
Inilah pengalamanku pada saat itu, kalau boleh memohon, jangan pernah terjadi lagi…menakutkan dan mengerikan….Saya selalu merasa pedih dan ikut terluka jika mengingat tanggal ini. Meskipun karena tanggal ini pula Soeharto lengser.
Doa saya setulus hati untuk para korban, yang sudah meninggal maupun yang masih survive hidup sampai saat ini….
Kawan,
Jangan pernah melupakan tragedi itu!
Jangan pernah melupakan para mahasiswa yang menjadi martir itu!
Jangan pernah melupakan perempuan-perempuan itu!
Jangan pernah melupakan begitu banyak yang terlibat dalam konspirasi itu.
Dan orang-orang itu sekarang pura-pura melupakan kejadian 13 tahun lalu?
Dan ingin menjadi pahlawan untuk bangsa Indonesia?
KAMI TIDAK PERNAH AKAN LUPA!
No comments:
Post a Comment