http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2011/05/15/harry-van-yogya-coming-to-jakarta/"
Tulisan ini adalah lanjutan dari cerita ‘petualangan’ Harry Van Yogya yang melawat Jakarta, di link
http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2011/05/15/harry-van-yogya-coming-to-jakarta/
Apa yang bisa kita pahami dari sosok Harry van Yogya? Ia adalah sosok tukang becak yang biasa-biasa saja. Ia bukan manusia instan yang mendadak tenar karena fasilitas You tube atau social media. Harry telah memulai sebuah proses menjadi manusia yang belajar terhadap keberadaan teknologi internet sejak belasan tahun yang lalu! Dimulai dari perkenalannya pertama dengan seorang turis dari Belanda yang mengajarinya membuka email dan mengenalkan halaman-halaman HTML di awal teknologi internet diperkenalkan di Indonesia. Harry mencoba menyerapnya menjadi pelajaran menarik bagi dirinya pribadi dan membagikan pengetahuannya kepada tukang-tukang becak lainnya di seputaran wilayah prawirotaman-malioboro, Yogyakarta.
Sebagai seorang tukang becak, Harry mempunyai prinsip kukuh untuk mengembangkan dunia “ ‘perbecakan’ dan pariwisata Yogykarta secara simultan. Ia berusaha mengkampanyekan citra becak Yogya yang bersih dan menyenangkan. Salah satu cita-citanya terwujud dengan menuliskan sebuah buku s yang berjudul ‘The Becak Way’. Ini buku yang sangat sederhana, jangan dibandingkan dengan ‘The Toyota Way’ atau buku karangan Bill Gates ‘The Bill Gates Way’. Ini buku pemikiran paling praktis dan realistis terhadap kondisi becak dan Yogya terkini. Ini buku tentang motivasi hidup yang dipelajari dari kehidupan Harry sebagai penarik becak unik di Yogyakarta.
.
“Banyak para turis dari luar membawa buku panduan tentang pariwisata Indonesia, Yogyakarta khususnya, dengan informasi yang ketinggalan jaman. Mereka masih saja membawa informasi tentang Yogya yang dituliskan sejak tahun 90-an. Padahal, jaman sudah berubah,” tutur Harry dalam sebuah bab di bukunya. “ Kondisi ini mengakibatkan adanya berbagai kesalahan informasi. Sementara, di Yogya, tukang Becak sering berposisi sebagai wakil dari informasi pariwisata yang pertama berinteraksi langsung dengan para wisatawan.”
Maka, ketika keinginan Harry untuk sekedar menyumbangkan ide atau wacana tentang Yogya lewat bukunya yang berjudul ‘The Becak Way’, seolah menjadi jawaban terhadap dunia pariwisata Yogya lewat sektor informal.
“Saya merasa, kami tukang becak di Yogya, bertanggung jawab penuh terhadap tingkat kunjungan wisatawan di Yogya. Jika kami bisa berlaku baik dan memberikan pelayanan jasa transportasi maupunguide, maka dunia pariwisata Yogya akan lebih berkembang.”
Pendapat Harry di atas menyikapi banyaknya tudingan wisatawan terhadap kondisi becak di Yogyakarta yang dianggap sering mempermainkan penumpang dengan seolah memaksa para penggunanya untuk datang ke tempat lokasi penjualan makanan maupun tekstil/batik. Memang, kita masih sering melihat betapa tukang becak di Yogya sering berebut penumpang dan membujuk rayu agar mau singgah ke tempat-tempat makan/belanja yang memberikan komisi/tip bagi tukang Becak yang mau mempromosikan sekaligus mengantarkan calon pembelinya.
“Kondisi ini tidak baik. Para penumpang sering protes ke tukang becak. Sementara Tukang becak yang melakukan hal tersebut, berharap mendapatkan komisi dan tip dari toko-toko tempat berbelanja. Saya mencoba menghindari hal tersebut dan memberikan kepada penumpang kenyamanan untuk memilih dan tidak menjerumuskan mereka untuk terpaksa membeli sesuatu yang bukan keinginan mereka.” Terang Harry panjang lebar ketika ditanyakan pendapatnya tentang perilaku tukang becak yang sebagian melakukan hal-hal yang disebut di atas.
Wacana yang didapat dari Harry ini tertuliskan dalam kalimat-kalimat sederhana yang ada di dalam buku tersebut. Bahkan yang menarik, buku tersebut telah dibahas oleh stasiun televisi TVONE di acara Apakabar Indonesia Pagi pada 15 Mei 2011. Diikuti dengan penayangan acara Hitam Putih Trans 7 yang disiarkan pada 20 Mei 2011. Namun, cerita dibalik layar tentang kisah Harry van Yogya mengisi acara Hitam Putih di Trans 7 adalah cerita menarik, mari kita simak.
Di balik Layar : Hitam Putih Trans 7 “The Becak Way”
Selesai acara syuting di TVONE pada tanggal 14 Mei 2011, Harry dan Saya bergegas pulang ke Yogyakarta pulang dengan naik kereta lewat stasiun Senen. Malangnya, saya kecopetan dompet yang berisikan surat-surat KTP, SIM, STNK dan ATM. Kehilangan ATM bagi saya adalah hal yang sangat parah dan menyulitkan saya. Ditengah kepanikan di atas kereta, kami berdua mendapatkan konfirmasi dari pihak Trans 7 bahwa Harry diundang untuk mengisi acara Hitam Putih yang akan diselenggarakan proses rekaman studionya pada hari selasa, 18 Mei 2011. Paling tidak, berita tersebut sedikit menghibur hati kami untuk bisa berkunjung lagi ke Jakarta dan menyiarkan buku ‘The Becak Way’ lewat televisi. Waktu libur selama 2 hari, hari minggu dan senin, kami gunakan untuk berembuk membuat rencana kembali ke Jakarta untuk syuting di Trans 7.
Masalah mulai muncul, ternyata untuk pergi kembali ke Jakarta, kami kesulitan tiket dan transportasi menuju ke sana. Tanggal 18 Mei kebetulan adalah hari raya waisak dan sejak hari sabtu sebelumnya, diumumkan sebagai hari libur ‘long weekend’ yang membuat harga-harga tiket melambung tinggi. Nah, apesnya, saya tidak bisa menarik uang saya di ATM, karena kartu ATM saya hilang karena kecopetan. Otomatis, saya hanya bisa berharap, dengan uang seadanya saya bisa membeli tiket kereta api yang kami jadwalkan berangkat pada 17 Mei 2011.
Problem baru muncul, ternyata tiket kereta api habis dipesan oleh para wisatawan yang kelak akan pulang kembali ke Jakarta setelah habis masa libur. Dan kalaupun bisa berangkat, harga tiket kereta api membumbung gila-gilaan. Kami mencoba mencek harga tiket pesawat, waduh, harga tiket pesawat juga melambung tinggi. Maka pusinglah kami berdua dengan masalah runyam ini. Senin malam, saya terpaksa membuat status di facebook, bahwa kami berdua tidak bisa berangkat ke Jakarta karena masalah teknis dan kalaupun kami bisa berangkat besok pagi, mau tidak mau harus menggunakan tiket pesawat. Dan, hingga subuh, kami belum dapat kepastian mendapatkan tiket untuk terbang ke jakarta!!!
Selasa pagi jam 10.00. Ditengah rasa bingung dan kesal, tiba-tiba sebuah konfirmasi tiket pesawat sudah bisa diambil dan kami berdua siap terbang ke Jakarta! Ajaib! Tiba-tiba kesulitan kami selesai dengan begitu mudahnya. Kami berdua tetap bisa terbang ke Jakarta mengikuti syuting di Trans 7. Dan pada jam 13.00, kami berangkat menuju Jakarta lewat bandara Adi Sucipto Yogyakarta.
Alhamdulillah….
Sampai di Jakarta, kami masuk ke hotel Maharani bersama pengisi acara lainnya yaitu dari grup Klanthing. Harry tampak deg-degan, baru kali ini dia diundang untuk acara variety talkshow yang dibawakan oleh Deddy Cobuzier. Saya hanya meminta kepada Harry untuk tetap tenang dan selalu membawakan pesan tentang Yogyakarta Istimewa kepada hadirin dan pemirsa. Bagaimanapun juga, sebagai penduduk kota Yogyakarta, kami berdua selalu bangga dan menjadi kewajiban bagi kami berdua untuk menyuarakan segala sesuatu tentang Yogyakarta secara baik dan proposional.
.
Tibalah waktu syuting. Kami kedatangan sahabat dari Jakarta, namanya Mbak Esti Rahayu. Dia ini yang menjadi tamu waktu syuting Apakabar Indonesia TVONE pada 15 Mei 2011. Saya berikan dia kaos bertuliskan “Republik Mataram” sebagai seragam kami bertiga. Harrypun memakai kaos yang sama yang memberikan ciri bahwa kami adalah ‘wakil-wakil’ kota Yogyakarta yang berusaha menyapa Indonesia lewat televisi. Cieee….
Syuting Hitam Putih Trans 7
Syuting pun berjalan. Babak pertama menampilkan kelompok Klanthing yang merupakan kelompok musisi dari Surabaya yang memenangkan acara Indonesia Mencari Bakat Trans TV. Suasana dari awal syuting sangat meriah dan full humor. Deddy Cobuzier bertindak sebagai pembawa acara yang baik dan sangat interaktif dengan bintang tamunya. Sesekali ia mencandai Budi, salah satu personil Klanthing dengan pertanyaan-pertanyaan menyindir dan dijawab oleh Budi dengan keluguan dirinya yang memandang sesuatu dengan sederhana dan tidak ada masalah sama sekali. Saya mencoba mengambil posisi duduk mendekati panggung, sehingga bisa mengabadikan beberapa foto dari jarak dekat.
Babak berikutnya, Harry van Yogya diberikan kesempatan untuk muncul. Yang menarik, Deddy Cobuzier segera memberikan apresiasi dengan sangat menyentuh tentang buku ‘The Becak Way’ yang diceritakannya kepada penonton di studio :
Deddy Cobuzier
“…Mungkin anda tidak tahu, ini adalah buku yang dibuat Pak Harry. Pak Harry adalah tukang becak, kalau anda ingin memesan becak, bisa lewat telepon, twitter dan facebook. Sehari-harinya, sambil menunggu di becak, dia menggunakan laptopnya untuk mengisi twitter dan facebooknya.”
“Buku ini luar biasa. Saya melihat dari gaya tulisannya. Kata pengantarnya bahkan ditulis oleh Walikota Yogyakarta!”
Sejenak saya terdiam mendengar komentar-komentar Deddy Cobuzier yang diucapkan spontan. Saya tidak tahu perasaan Harry yang saat itu sedang berada di atas panggung. Tepukan tangan meriah dari para penonton seolah mewakili kegembiraannya yang berhasil membuat sekian ratus hadirin terinspirasi dan terkesima.
Insiden Kaos!
Namun, baru setengah jalan syuting berlangsung, tiba-tiba dari arah ruang monitor, program director Hitam Putih menghentikan syuting tersebut!
“CUT! Maaf Mas Harry, sebaiknya Anda tidak menggunakan kaos tersebut!”
Waduh, mendadak wajah saya, Harry dan Esti saling berpandangan panik. Kami bertiga memakai kaos yang sama : “Republik Mataram!” Ada apa gerangan? Apa gara-gara kaos ini dianggap subversif atau bagaimana begitu?
“Mas, artinya Republik Mataram di kaos tersebut apa sih?” tanya mbak Dewi, penanggung jawab kreatif Hitam Putih Trans 7.
“Oh? Ini kaos plesetan, Mbak. Kalau di Yogyakarta, hal ini lumrah dan jadi pakaian sehari-hari,” jawab saya sekenanya.
“Waduh, kami takut bermasalah dengan kaos yang dipakai Mas Harry. Boleh nggak kalau kami tutupi tulisannya?”
Wah, saya nggak menyangka situasinya menjadi seserius ini. Para hadirin di studio tampak bertanya-tanya. Mereka tidak paham dengan situasi yang terjadi. Alhasil, kami akhirnya menerima usulan teman-teman Trans 7 yang berusaha mengambil langkah ‘aman’ dan tidak mengambil resiko tayangan tersebut bakal kena teguran dari KPI. Ok deh, mas dan mbak Trans 7, kami minta maaf dan memahami keputusan Anda. Silahkan dilanjutkan!
Nah, syuting akhirnya dimulai dari awal lagi. Untungnya mood dari para pembawa acara dan bintang tamu tidak ngedrop. Penontonpun tetap terbawa dalam situasi yang menyenangkan. Hingga akhir acara, tidak ada insiden lain yang terjadi. Alhamdulillah, tugas kali ini sudah selesai.
Syuting di Yogyakarta
Selesai syuting Hitam Putih di Jakarta, hari berikutnya kami kembali ke Yogyakarta. Namun, baru saja sampai di tanah Yogya tercinta, ada pemberitahuan dari pihak Trans 7 yang tertarik membuat profil kehidupan Harry van Yogya langsung di Yogyakarta. Ya sudah, kami sepakati untuk membuat syuting di hari Kamis, 19 Mei 2011.
Mulai jam 12 siang, hari Kamis, tim Trans 7 telah membuatkan beberapa liputan tentang Harry dan komunitas tukang becak di sekitar Prawirotaman. Tiba-tiba, Harry punya ide untuk memberikan buku ke Pak Walikota Herry Zudianto. Ia meminta saya menghubungi walikota pada saat yang bersamaan.
Hah?
Terus terang, saya kaget dengan permintaan Harry ini. Menghubungi pak Walikota dan membuat janji seketika untuk bertemu dengan beliau adalah tidak mudah. Kita tahu tingkat kesibukan beliau dan birokrasi di pemerintah yang tidak serta merta bisa diatur untuk menuruti jadwal yang kita inginkan. Tapi, karena Harry adalah sahabat saya, sebisa mungkin saya mencoba menghubungi langsung Pak Walikota Yogyakarta tersebut. Saya meminta bantuan mas Julius Felicianus untuk memintakan ijin langsung ke Pak Herry Zudianto. Dan…Ajaib, tiba-tiba saja pak Walikota bisa ditemui pada sore hari jam 16.00 langsung di kantor walikota!
Syuting di kantor Walikota Yogyakarta
Saya, Harry dan tim Trans 7 bergegas menuju kantor walikota. Nggak pake lama, kami segera bertemu dengan pak Walikota, Herry Zudianto. Kami membuat adegan Harry menyerahkan buku kepada pak Walikota. Dan yang mengagetkan tiba-tiba pak Herry Zudianto memberikan usul sebagai berikut :
.
“Mas Harry, boleh nggak saya jadi tukang becak dan Anda yang naik becaknya!” pinta pak walikota dengan wajah serius.
Hah?
Tiba-tiba saja, pak Herry Zudianto sudah duduk di sadel becak yang dibawa Harry ke kantor walikota. Ia meminta Harry untuk menjadi penumpang ‘dadakan’. Dan dengan gesit, Pak Walikota menarik becaknya dengan Harry van Yogya menjadi penumpangnya! Pak Walikota membuat satu putaran penuh menggenjot becak mengitari taman di depan gedung walikota. Tentu saja kami kaget dan surprise melihat aksi beliau. Sebuah aksi spontan yang membuat kami terharu, bahwa walikota Yogyakarta adalah orang yang tidak ‘jaim’ dan rela melakukan sesuatu untuk membuat rakyatnya tersenyum.
“Mas Harry adalah contoh warga Yogyakarta yang baik. Saya bangga dengan beliau.” Terang Pak Walikota dengan singkat. Ah, terimakasih pak Herry Zudianto. Terimakasih sudah menerima Harry, saya dan teman-teman Trans 7.
Tidak terasa syuting hari itu selesai dengan cepat dan menyenangkan. Kami sangat gembira dengan respon pak Walikota dan para staffnya yang rela membantu menyiapkan keperluan kami selama di lokasi.
“Kami pamit pulang ke Jakarta. Jangan lupa nonton tayangannya besok di Trans 7,” kata teman-teman Trans 7 yang segera berkemas untuk kembali ke Jakarta. Benar-benar luar biasa energi dan kecepatan mereka. Para tim Trans 7 hanya berada di Yogyakarta selama 6 jam dan ketika selesai syuting mereka segera bergegas pulang ke Jakarta.
Kami segera berpisah di halaman kantor walikota Yogyakarta. Teman-teman dari Trans 7 langsung menuju Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta. Saya ijin pamit ke Harry yang juga akan kembali ke pangkalan becaknya. Kami berdua merasakan kebahagiaan yang sama, bisa berkarya dan memberikan makna kepada orang lain lewat kreatifitas dan semangat persahabatan. Pelan-pelan, saya lepas kepergian Harry van Yogya dengan becak yang selalu dikayuhnya. Ia mengayuh becaknya di antara tatapan orang-orang yang sedari tadi berkerumun di halaman kantor walikota.
Sampai bertemu Harry, kita lanjutkan cerita yang indah ini. Kita akan bertualang bersama membagikan semangat, kreatifitas lewat menulis dan membawa nama Yogyakarta yang kita cintai bersama.
Salam,
Sony Set.
Penulis Sony Set. Telah meluncurkan buku Srimulat : Aneh yg Lucu pada 8 Maret 2011. Saat ini sedang berjuang menyelesaikan buku Srimulat 2 : Era Televisi dan Srimulat 3 : Next Generation
No comments:
Post a Comment